Yang Merindu Dan Gelisah

Dari ruangan yang sempit ini, aku melayangkan tatapan ke sela jeruji yang memisahkan antara terang dan gelap duniaku. Aku benci jeruji, juga dinding itu. Dia menghalang dan menjulang terlalu tinggi. Aku sempat berpikir untuk merangkak melewatinya. Tapi, lama-lama keinginan itu urung. Aku lumayan menikmati tempat ini, setidaknya aku dapat makanan gratis dan tempat tidur yang tak digusur.
Entah sudah berapa lama aku di sini. Aku sudah tidak menghitungnya sekian lama. Percuma saja dihitung, pada akhirnya aku juga akan keluar sebagai mayat atau mungkin dibunuh. Aku hanya menghitung jumlah keriput yang semakin bertambah seiring waktu, mengira-ngira bagaimana bentuk wajahku setelah berewok ini subur, dan mereka-reka berat badan yang rasanya semakin menyusut.
Apakah aku benar pembunuh? Aku masih tidak percaya. Seingatku, aku hanya membela diri. Lelaki tua pemilik toko yang di depannya aku tidur sangat kejam memperlakukanku. Dia menyiram air dan memukulku dengan gagang sapu. Sebab terkejut aku menggertaknya. Dia jantungan. Belum sempat kuhajar, dia sudah jatuh. Mati. Anaknya melaporkan aku ke polisi. Lalu, begitulah, terlalu sederhana.
Polisi memperkarakanku macam-macam. Sebagai orang awam dan baru beberapa hari di kota besar, aku tidak tahu apa-apa. Sampai ketika polisi menghukumku sepuas hati, aku masih kurang mengerti mengapa hal ini terjadi. Niat mencari pekerjaan, malah mendekam di ruang pengap ini.
Setiap waktu, hanyalah meja coklat usang di tengah kamar sempit ini yang setia menemani kekosonganku. Ia menjadi saksi ketika dewa kesepian mempermainkanku dengan sangat kejam. Dia menjadi tempat kuruahkan kekesalan dan rindu yang pengap pada kertas-kertas yang kuminta tiap minggu pada penjaga pintu.
Hari ini, aku ingin menuliskan tentang kampung damaiku. Bagaimana kabarnya sudah? Aku sungguh merindukannya. Kuceritakan sedikit tentang negeriku. Hanya sedikit saja.
Tabuh bedug membangunkan kampungku. Lalu adzan menyahut bersambung-sambung dari rumah Tuhan. Pagi menjelma seiring kokok ayam yang merdu. Matahari datang. Dan semuanya di mulai.
Para lelaki membopong cangkul menuju sawah, menyusuri pematang dengan cekatan. Para wanita menenteng sayuran dan segala yang hendak dijual dalam jinjingan anyaman pandan, menuju pasar. Anak-anak sekolah menyusuri jalan tanah dan berbatu yang melintas di antara sawah. Para pemuda menuju kebun dan sungai demi menyiangi tanaman atau menggangkat bubu yang dipasang semalam.
Matahari berarak meninggalkan pagi dengan pelan. Penduduk saling menyapa, mengesankan betapa bersahabatnya mereka. Alam demikian juga. Menerima dengan tabah segala perlakuan penduduk di atasnya.
Siang datang dengan kelengangan dan teduh. Hanya kokok ayam dan desir angin, derak dahan dan gesek daun saja yang terdengar. Padi sedang kuning, orang kampung memenuhi sawah dan bersiang di sana.
Semburat jingga menjelma di langit barat, burung-burung pulang dengan gegas ke sarangnya. Orang-orang pulang ke rumah dan melepas lelah dengan senyuman bahagia. Malam datang. Purnama mengunjungi kampung kami, memberikan terang di malam hari. Kami keluar rumah setelah selesai mengaji, berkumpul di halaman balai, lalu bermain bermacam-macam di bawah siraman sinar Tuhan.
Kami pulang ke rumah ketika ibu kami datang menjemput dengan marah-marah. Di rumah, cahaya teplok menerangi kami. Kampung diam. Nyanyian merdu jangkrik dan serangga meninabobokan para penduduk kampung ini.
Ah, aku merindukannya. Apakah masih seperti itu atau sudah berubah sama sekali seperti rambutku yang perlahan-lahan mulai tak lagi hitam? Aku dilanda ingatan yang meresahkan.
Pada terakhir kali aku melihat dunia luar, kudapati negeri di mana aku dibawa orang-orang berseragam, sebagai negeri yang berbeda. Kesederhanaan tak lagi tersisa. Alam gersang dan tak bersahabat. Para wanita bergincu tebal dan tidak berpakaian aneh. Anak-anak bermain di jalan raya dengan kendaraan pemberian orang tua, mungkin, dan kukira mereka tidak lagi bisa bermain seperti kami dulu. Mereka tidak bermain engklek atau main masak-masakan di kebun belakang rumah—tentu saja, rumah mereka tidak memiliki kebun seperti di kampungku.
Mereka punya istana tempat bersembunyi sejak pagi hari dan ketika malam mereka akan bersembunyi di istana yang mereka buat sendiri. Di kampung ini tidak ada lagi pematang dan kicauan burung. Tak ada lagi nyanyian bucet dan jangkrik yang berduet. Tak ada lagi rimbunan pohon teduh. Tak ada lagi selain lusuh.
Aku merasakan ruang ini begitu pengap. Kuhentikan menulis. Buku bersampul cokelat telah kututup. Di ranjang besi kurebahkan badan. Kupandang plafon kamar, gelap. Hanya beberapa berkas cahaya saja yang berhasil menyentuh lantai kamar ini. Cahaya dari jeruji. Aku gelisah mengenang kampungku. Rinduku sudah beku.

Pintu terhempas dengan kencang. Menyentak kelenaanku. Seorang pria berbaju sipir mendekat sangat cepat. Anak lelaki tua itu. Dia mengeluarkan benda jahanam yang sama dengan tadi dari bajunya. Ini kali kedua untuk kali ini. Dia menyuntikkan sesuatu ke pembuluh darahku. Sebelum semuanya menjadi hilang, dia berbisik di telingaku, ”Kembalilah ke negerimu, pembunuh.” Suara itu semakin sayup dan aku melayang dengan mata terkatup.[]
Karya : Bunga Nabilah
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :

Post a Comment

Ayo beri kritik dan saran..!