Rinai hujan
masih sibuk mengasihi bumi. Bus kota pun lagaknya masih sibuk dengan penumpang
lain, entah dimana. Sebahagian orang berjalan melenggang bersama payungnya,
menembus hujan. Sebahagian lainnya sibuk berlari, mencari tempat berteduh lain
kerena halte ini bahkan sudah tidak cukup lagi untuk didiami oleh seorang anak
kecil, terlalu padat.
Ini sudah kali
kelima aku melihatmu di halte ini. Kali kelima pula kita sama-sama berteduh
di bawah halte ini. Ujung sepatuku menyentuh ujung sepatumu, menggambarkan
seberapa dekat jarak kita sekarang ini. Dorongan-dorongan karena terlalu padat
membuat bahuku berkali-kali bersentuhan dengan bahumu. Hentakan-hentakan bunyi
degup jantungku bahkan hampir mengalahkan bunyi hujan yang kian memburu, aku
terlalu panik. Kamu memandangku, sejenak, wajah putihmu terlihat mempesona, aku
semakin gila. Detik berikutnya kamu kembali membuang wajah ke jalanan.
“Mungkin hujan
takkan berhenti sampai satu jam kedepan,” ujarmu tanpa mengalihkan pandangan.
Kamu sibuk mengamati metromini-metromini yang melintas dengan penumpang yang
bersesakan. Ini pertama kali kamu mengajakku berbicara. Seketika darahku
serasa panas, berdesakan menuju jantung, aku terlalu bahagia.
“Dan sepertinya
bus tidak akan berhenti sampai satu jam kedepan. Terlalu banyak orang yang
diangkut, tidak ada tempat untuk kita yang di sini,” ucapku meramal.
Kamu berdehem,
menetralisir suasana dingin yang menyeruak membekukan dialog-dialog yang
terjadi di bawah halte.
“Kamu, apa
rumahmu jauh dari sini?” tanyamu padaku dengan nada sebiasa mungkin. Mencairkan
dialog-dialog beku yang sebelumnya terjadi. Ini bukan kali pertama kita bertemu
di halte ini, tapi ini kali pertama kita meluncurkan dialog-dialog membentuk
percakapan biasa. Ah, aku mengulangi kata-kataku lagi, akan kutulis ini dalam
buku harianku.
“Lumayan, cukup
membuatku basah kuyup jika aku berniat untuk menembus hujan. Kamu?” pertanyaan
yang sama kulontarkan untukmu. Kamu seperti menimang-nimang jawaban.
“Jauh?” desakku.
Kumiringkan kepalaku, menatap wajah tegasmu yang sedikit bingung. Apa yang kamu pikirkan? Bolehkah aku tahu?
“Sangat dekat,
hanya butuh waktu kurang dari lima menit dari sini,” jawabmu dengan nada
rendah.
“Dan kamu
berniat untuk berteduh disini sampai kira-kira satu jam kedepan? Kamu biasa
melakukannya setiap kali hujan?”
“Ya dan tidak,”
jawabmu untuk kedua pertanyaanku. Aku tak lagi banyak bertanya, dan sepertinya
kamu juga tidak berniat mengeluarkan dialog-dialog menarik.
Benar saja, satu
jam setelahnya, rinai hujan tak sederas sebelumnya. Hanya menyisakan
jarum-jarum hujan yang tak terlalu banyak. Dari ujung jalan aku dapat melihat
bus berjalan ke arah kita. Aku memandang ke sekeliling, orang-orang yang juga ada
di halte menatap kita. Sepertinya mereka iri padaku karena aku bisa berdialog
indah denganmu. Kemudian aku kembali menatap wajah tegasmu yang kelihatan putih
pucat, mungkin kamu sakit. Aku ingin bertanya, tapi sudahlah, aku tidak ingin
dikatakan terlalu ingin tahu.
“ Kamu ikut
naik?”
“Tidak, sudah
kukatakan rumahku dekat,” jawabmu. Tanganmu mengarah ke pintu bus,
mempersilahkanku masuk.
“Baiklah, aku
duluan,” pamitku lantas masuk ke dalam bus. Aku memilih kursi kosong yang ada
di dekat jendala. Kulambaikan tanganku dari balik jendela, berpamitan padamu.
Jalanan padat setelah hujan. Dari balik jendela pula aku masih bisa menatap
orang-orang di halte yang masih terus menatapku, begitu irikah mereka padaku
yang dapat bercengkrama denganmu yang begitu sempurna?
Bus berjalan
dengan sangat lambat. Aku baru menyadari betapa bodohnya aku, aku bahkan tak
menanyakan namamu. Satu jam dibawah halte bus yang sama, berdialog tanpa tahu
identitas masing-masing. Sedikit penyesalan menyelimuti permukaan hatiku.
Bolehkah aku berharap pertemuan kita akan direncanakan oleh Tuhan lagi? Setidaknya,
perbolehkan aku tahu namamu.
The named
Mendung tampak
menggantung. Aku berlari-lari kecil menuju halte, tidak ingin tubuhku di guyur
oleh tangisan langit. Sudah dua minggu ini langit terus menangis, entah apa
yang terjadi padanya. Ini cukup menyusahkan sebahagian orang yang ingin pulang
ke rumah, aku termasuk di dalamnya. Namun, diam-diam aku selalu mengharapkan
langit tetap menangis. Setidaknya, dengan begitu aku bisa bertemu denganmu, di
halte.
Aku mendudukkan
diri di salah satu kursi halte. Tak ada seorangpun disana, hanya aku dan
kecewaku. Aku tak menemukanmu disana. Kurasa Tuhan tidak ingin merencanakan
pertemuan kita lagi. Padahal aku belum sempat bertanya siapa namamu.
Lima belas menit
berlalu, langit benar-benar sudah menangis. Bus yang kutunggu tak kunjung
datang. Sedikit rasa takut menyergapku. Banyak kejahatan yang terjadi di halte,
begitu yang kulihat di televisi. Rasa takutku semakin menjadi-jadi ketika
seseorang berlari menembus hujan, menuju halte ini. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam.
Aku tak punya cukup keberanian untuk melihat orang itu. Aku dapat melihat
sepatu orang itu, berdiri tepat disamping tempat dudukku.
“Kamu sendiri?”
sebuah suara memaksaku untuk mengangkat kepalaku. Kutemukan siluet yang tadi
sempat kuharap kehadirannya. Wajahmu masih terlihat pucat seperti kemarin,
masih sakitkah kamu? Aku bahkan tak memiliki keberanian bertanya hal itu. Aku
mengangguk menjawab pertanyaanmu. Kamu membuang wajahnya ke jalanan. Kedua
tanganmu sibuk mengacak-acak rambutmu yang basah. Sweater yang kamu kenakan
juga sudah basah semua. Membuat benda itu terlihat menempel erat ke tubuhmu.
“Kamu basah,”
ujarku. Kamu memandangku sejenak, lalu sibuk mengeringkan rambutmu dengan
jemarimu.
“Aku sudah
berlari secepat mungkin untuk cepat sampai halte sebelum hujan, tapi tetap saja….” kamu tak melanjutkan kalimatmu.
“Kamu udah
lama?” tanyamu. Pertanyaanmu seperti seorang kekasih yang bertanya pada
pacarnya karena terlambat datang waktu kencan.
“Sudah dari lima
belas menit yang lalu,” aku berhenti sejenak. “Hari ini juga nunggu di sini
sampai hujan reda?” tanyaku. Kamu menghentikan aktivitasmu yang mengeringkan
rambut, menatapku sejenak.
“Hmmm.”
Anggukkan kepalamu terlihat berirama, manisnya….
“Ah ya, namamu?”
tanyaku. Kali ini aku tidak akan bertindak bodoh lagi. Segera kutanyakan
namamu.
“Alvian,”
serumu. Kemudian kamu menatapku, mengangkat dagun, mengisyaratkan bahwa kamu
juga menanyakan yang sama.
“Viola.” Aku
menyebutkan namaku.
Kamu bergerak
menuju kursi di sebelahku, mendudukkan diri tepat di sebelahku. Peredaran darah
yang terjadi di jantungku bekerja lebih cepat. Seperti berdesak-desakkan ingin
mengaliri pembuluh-pembuluh darahku dengan sel-sel darah baru. Aku bahkan dapat
mendengar dengan jelas degupan jantungku, kuharap kamu tidak mendengarnya.
“Lari saja
sampai rumah, sudah basah juga kan?” usulku.
“Hmmmm.” Kamu
menggeleng kuat, menegaskan bahwa kamu tidak mau melaksanakan usulku. “Aku mau
disini, kamu terganggu?”
“Bukan… Tapi,
kamu bisa masuk angin, basah semua kan?”
“Iya memang… Tapi
aku mau disini,” tegasmu. Aku hanya diam, tidak tahu kata-kata apa lagi yang
sebaiknya aku ucapkan. Biarlah keheningan menghampiri kita sejenak.
Setengah jam
berlalu, bus kota belum juga menampakkan diri. Kamu mulai menggigil. Jelas
saja, bagaimana tidak menggigil jika kamu memakai pakaian basah seperti itu. Sudah kukatakan untuk lari saja, kan?
“Pulang aja,
apa sih yang ditunggu? Hujan berhenti? Bukannya udah basah? Nunggu hujan
berhenti juga percuma!” gerutuku. Aku
mengkhawatirkanmu, pulanglah, tambahku dalam hati.
“Aku akan terus
disini, sampai kamu naik bus!” tegasmu yang membuatku terkejut. Apasih
maksudmu? Kamu mau membuatku berharap huh?
Setelahnya, kita
hanya saling diam. Aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan. Kata-katamu yang
sederhana, terasa berharga bagiku. Ah… aku benar-benar sudah jatuh cinta
padamu. Adakah kamu sepertiku?
***
Hari
ini tidak ada mendung yang menggantung atau gemuruh yang mengaung. Langit sore
ini Nampak cerah. Aku berjalan dengan santai. Menikmati setiap pemandangan kota
yang selama ini sering kulewatkan begitu saja. Hari ini kamu datang ke halte
tidak ya? Hujan tidak turun, aku tak yakin akan menemukanmu di sana. Benar
saja, aku tidak melihatmu bergabung dengan orang-orang yangsaat ini tengah ada
di halte. Diam-diam aku jadi berharap hujan turun setiap hari.
“Bu…” sapaku pada salah seorang wanita paruh baya yang memang sering kutemui di
halte ini, terutama belakangan ini. Wanita itu tersenyum ramah padaku,
menampakan deretan giginya yang tampak terawat.
“Baru
pulang sekolah, Nak?” tanyanya. Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala.
“Nak,
boleh Ibu bertanya?” ucapnya dengan nada rendah.
“Boleh
Bu, silahkan…” balasku. Ia tampak mengulum bibirnya, ragu.
“Kamu
biasanya kalau lagi nunggu bus di sini, ngobrol sama siapa, Nak? Kok Ibu lihat
kamu ngomong sendiri?”
“Maksud
Ibu?” tanyaku tidak mengerti.
“Ya,
kamu kok kayaknya suka bicara sendiri. Dua hari yang lalu, waktu halte ini
penuh karena hujan, Ibu ada di sebelahmu.”
Aku
mencoba mengingat kejadian dua hari yang lalu. Dua hari yang lalu, bukankah itu
hari di mana kamu mengajakku mengobrol? Kamu berdiri di sisi kananku dan
kehadiranmu membuatku tidak memperhatikan sisi lain. Aku terlalu sibuk dengan
debaran jantungku karena ada di dekatmu. Aku tidak ingat jelas bahwa ibu ini
ada di sebelahku saat itu.
“Ah,
maaf Bu, tapi saya tidak ingat ibu ada di sebelah saya waktu itu,” ucapku
sopan.
“Tidak
apa kalau tak ingat, Ibu hanya ingin bertanya saat itu kamu bicara dengan
siapa?”
“Ah,
itu dengan pemuda yang berdiri di sisi kanan saya, Bu. Ibu pasti tahu, dia juga
selalu menunggu di halte ini.”
Aku menjelaskan
perihal tentangmu. Namun, wanita itu malah mengerutkan keningnya, tersenyum
masam padaku.
“Tapi
Nak, sepertinya tidak ada pemuda di dekatmu saat itu.”
Pernyataan yang
baru saja diucapkan olehnya membuatku terhenyak. Hei, bukankah kamu ada di
sebelahku saat itu? Atau dia saja yang tak melihatmu? Mungkin!
“Ada
kok Bu, mungkin Ibu enggak merhatikan,” ujarku. Namun ia tampak berpikir,
mungkin ia sedang mengingat-ingat kejadian dua hari lalu, biarlah ….
“Ah,
mungkin begitu,” lirihnya.
Unreal
Hujan
sore ini tidak terlalu deras, dan aku sengaja menunggumu di halte. Berharap aku
bisa bertemu denganmu hari ini. Aku juga berharap bertemu wanita paruh baya
yang kemarin sempat mengucapkan pernyataan aneh yang sukses membuatku tidak
dapat berkonsentrasi seharian ini.
Aku ingin
mengenalkanmu padanya, tentu saja. Bagaimana mungkin ia mengatakan bahwa ia
tidak melihatmu. Sayang sekali ia tidak memperhatikan orang sesempurna kamu.
“Bu…,” sapaku pada wanita paruh baya yang baru masuk ke halte, turut berteduh.
Baiklah, aku hanya perlu menunggumu sekarang.
Aku
tersenyum sumringah ketika melihat sosokmu berlari menuju halte. Tas ransel
yang menggantung di punggungmu ikut bergoyang ketika kamu berlari. Wajah putih
pucatmu yang terkena tetesan hujan merupakan lukisan terindah yang pernah
kusaksikan.
Kamu
tersenyum ramah padaku, kubalas dengan senyuman yang tak kalah ramah. Lantas
aku memandang wanita paruh baya yang ada di sebelahku.
“Bu,
ini pemuda yang saya maksudkan. Yang waktu itu bicara sama saya,” ucapku
memperkenalkanmu padanya. Tanganku kuarahkan padamu, menunjukkan bahwa kamulah
orang yang kumaksudkan. Ia mengerutkan keningnya, memandangku aneh. Apa yang
salah?
“Mana, Nak? Tak ada siapapun di sampingmu,” ucapnya ragu-ragu. Aku menatapnya bingung,
masa ia tak melihatmu? Jelas-jelas kamu berdiri disebelahku.
“Bu,
ini dia.” Aku menarik tanganmu, mendekatkanmu padanya agar ia bisa melihatmu.
Ia
mundur beberapa langkah. “Nak, siapa yang kamu maksud?” Ia tetap natapku aneh.
Aku
memutar kepala, menatapmu meminta penjelasan. Bagaimana mungkin ia tidak
melihatmu?
"Dia
memang tidak melihatku,” ujarmu. Aku membelalakkan mata, tidak mengerti.
“Maksudmu?”
tanyaku meminta penjelasan. Wanita itu mundur selangkah lagi, semakin
menjauhiku ketika aku berbicara padamu.
“Hanya
kamu yang melihatku. Aku… tak nyata untuk mereka.”
Pernyataanmu
menghancurkan saraf-sarafku. Hei, katakan bahwa kamu sedang berbohong. Apa
maksudnya ini?
“Aku,
seharusnya sudah tidak ada di dunia ini. Tapi… entah bagaimana aku bisa ada di
sini tiap kali hujan. Mungkin karena aku meninggal di sini,” jelasmu. Aku masih
menatapmu tak percaya.
“Sudah
setahun yang lalu, aku kecelakaan tepat di depan halte ini. Saat itu hari
sedang hujan, mungkin itu juga yang menjadi alasan aku bisa di sini saat hujan.
Dan… hanya kamu yang dapat melihatku,” tambahmu. “Meski ini sulit kamu
percayai, nyatanya inilah yang terjadi. Hanya kamu yang bisa melihatmu, itu
sebabnya, hari itu aku memberanikan diri mengajakmu bicara.”
Aku menahan
napas, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Inikah alasan mengapa
orang-orang di halte menatapku aneh ketika aku sudah naik kedalam bus? Inikah
alasan wajahmu selalu pucat? Dan inikah alasan mengapa wanita paruh baya itu
bertanya aku berbicara dengan siapa? Karena kamu sudah tidak ada? Dan kerena
hanya aku yang bisa melihatmu? Lalu? Bagaimana dengan rasa cintaku? Tidak nyata
jugakah? Aku tak bisa percaya dan tak mau percaya ini. Bagiku kau terlalu nyata
untuk sesuatu yang tak nyata.
***
Karya : Retno Handini
kereeeen!
ReplyDeletewoooow
ReplyDelete